Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Sertifikasi Halal

Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin pesat, ilmu pengetahuan dan ilmu teknologi sangat pesat perkembangannya termasuk bagaimana pengolahan pangan yang sangat bervariasi. Di pasar dapat dijumpai berbagai produk yang beragam jenisnya, baik yang buat perusahaan pangan lokal ataupun impor dari perusahaan luar. Bahkan saat ini banyak sekali pengolahan makanan yang bersifat siap saji dan makanan tersebut dibuat dari berbagai bahan yang tak semua makanan  tersebut “jelas kehalalannya.

Dalam Alquran surat al-Baqarah 2: 168 dan al-Mâidah 3: 88 Allah SWT jelas sekali memerintah kepada umat Islam untuk memakan makanan yang halal dan baik. Sebagian masyarakat awam berpendapat bahwa makanan yang sehat dan baik telah bisa untuk memenuhi kebuthan dan asupan gizi.

Sertifikasi Halal di Indonesia
Prosedur Sertifikasi Halal. (sumber: semarak.co)
Padahal semua makanan yang sehat dan baik itu tidak sepenuhnya akan menambah kesehatan dan kebaikan jika tidak dilengkapi dengan faktor halal (Ramlan N. , 2104)  Sertifikat halal merupakan fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan sebuah produk sesuai dengan syariat Islam. Sertifikat halal merupakan syarat yang mutlak untuk adanya label halal pada kemasan produk. (Departemen Agama RI, 2003).

Sertifikat halal adalah jenis surat yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obatobatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) yang menjelaskan suatu produk telah sesuai dengan yang diajarkan agama.

Sertifikat halal ini bisa dimanfaatkan untuk pencantuman label halal pada kemasan. Komitmen Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan giat mengadakan penelitian dan pengawasan yang selanjutnya mencantumkan “label halal kepada berbagai jenis makanan, kosmetik dan daging olahan yang tersebar di masyarakat dalam berbagai kemasan secara terus menerus dilakukan dengan upaya memberikan kepastian status makanan yang akan dimakan dan produk kosmetik yang akan dipakai.
  
Sertifikat halal adalah surat yang di buat “oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obato-batan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) dengan menjelaskan sebuah produk telah sesuai atau belum pada ajaran agama islam.

Sertifikat halal ini bisa dimanfaatkan untuk memiiki  label halal. “Komitmen Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara giat mengadakan penelitian dan selanjutnya memberikan label halal terhadap berbagai macam makanan, kosmetik dan daging olahan yang beredar di masyarakat dalam berbagai kemasan dengan terus menerus dilakukan dalam upaya menjamin kepastian status makanan yang akan dimakan dan kosmetik yang akan dipakai. 

Produk halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syariat Islam, yaitu:
  1. Tidak terdapat kandungan babi dan zat yang berasal dari babi. 
  2. Tidak terdapat banyaknya bahan yang dilarang oleh islam seperti bahan-bahan yang berasal dari organ tubuh manusia, darah, kotoran dan lain-lain.  
  3. Semua bahan yang asalnya dari hewan halal yang dipotong dengan aturan yang diperintahkan “islam.
  4. Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Apabila pernah dilskuksn untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya maka terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat Islam. 
  5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.

Menurut (Hasan, 2014) Sertifikat halal merupakan surat edaran yang dibuat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat atau Provinsi terkait kehalalan sebuah produk pangan, “minuman, obat-obatan dan kosmetika yang dihasilkan oleh perusahaan yang telah diteliti dan dinyatakan halal oleh LPPOM MUI.

Pemegang kekuasaan mengeluarkan sertifikasi produk halal adalah MUI yang secara teknis ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM).

Untuk para konsumen, sertifikat halal mempunyai berbagai macam fungsi. Pertama, perlindungan konsumen muslim dari memakan pangan, obat-obatan dan kosmetika yang tidak memiliki kehalalan; kedua, secara kejiwaan perasaan hati dan batin konsumen akan aman; ketiga, mempertahankan jiwa dan raga dari keterpurukan akibat produk haram; dan keempat, menjamin kepastian dan perlindungan hukum.

Untuk produsen, sertifikat halal memiliki beberapa andil yang penting. Pertama, sebagai tanggungjawab produsen kepada konsumen muslim, mengingat masalah halal merupakan bagian dari prinsip hidup muslim; kedua, meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen; ketiga, meningkatkan citra dan daya saing perusahaan; dan keempat, sebagai alat pemasaran dan untuk memperluas area jaringan pemasaran; dan kelima, memberi keuntungan pada produsen dengan meningkatkan daya saing dan omzet produksi dan penjualan (Hasan, 2014).

Penentuan produk halal atau “haramnya sebuah produk baik makanan, obat-obatan atau kosmetik tidaklah mudah. Disisi lain para ulama mungkin tidak sepenuhnya menyadari menyadari bahwa banyaknya produk pangan, obat dan kosmetik saat ini. Asal usul bahan bisa melalui jalan yang sulit, bahkan dalam beberapa kasus sulit untuk ditentukan asal bahannya.

Disisi lain, pemahaman para ilmuwan terhadap syariah Islam, ushul fikih dan metodologi penentuan halal haramnya suatu bahan pangan relatif minim. Dengan demikian, seharusnya para ulama mencoba memahami betapa kompleksnya produk pangan, obat dan kosmetik. Sedangkan ilmuwan Muslim seharusnya menggali kembali pengetahuan syariatnya untuk membantu ulama memahami kompleksitas masalah yang ada (Apriyantono, 2009).

Halal “dan baik merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan terkait makanan yang dikonsumsi. Halal merupakan pemenuhan dari segi syariat dan “baik” dari segi mutu, kesehatan, gizi dan organoleptik. Untuk menyediakan makanan yang sangat baik, berbagai sistem dan peraturan telah distandarkan dan diimplementasikan.

Mengkonsumsi makanan haram akan mengeluarkan banyak dampak tidak baik tidak hanya menimbulkan penyakit secara fisik akan tetapi juga penyakit secara mental/spritual. Konsumsi pangan tidak halal merupakan dosa pertama yang dilakukan oleh nenek moyang manusia (Nabi Adam As.) yang menyebabkannya dikeluarkan dari surga.

Selain itu konsumsi pangan tidak halal mengakibatkan doa tidak diterima, ibadah ditolak oleh Allah Swt dan susah taat serta senang maksiat (Moh.Anas Muchtar, 2013).

Majelis Ulama Indonesia melalui komisi fatwa sebagai lembaga yang berkompeten menetapkan fatwafatwa yang diputuskan melalui sidang komisi fatwa, memikul tanggung jawab yang besar dalam menentukan halal atau tidaknya sesuatu produk untuk dikonsumsi, dan digunakan oleh masyarakat Islam sebagai kebutuhan sehari-hari.

Dengan demikian, agar fatwa halal tidak dikeluarkan berkali-kali (tumpang tindih) maka perlu dijelaskan tentang kewenangan dan ruang lingkup yang dapat difatwakan. Kewenangan disini adalah hak dan kekuasaan komisi fatwa MUI untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang akan difatwakan.

“Dalam Buku Himpunan Fatwa MUI Tahun 2003 pada ketentuan umum pasal 7 tentang kewenangan dan hirarki disebutkan:

  1. Majelis Ulama Indonesia berwenang mengeluarkan fatwa mengenai  hal-hal atau  masalah sebagai berikut:
    • Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut  umat Islam Indonesia secara Nasional.
    • Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat  menyebar luas ke daerah-daerah yang lain
  2. Majelis Ulama Indonesia Daerah berwenang mengeluarkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan yang bersifat lokal, kasuskasus di daerah, dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan MUI/Komisi Fatwa.
  3. Setiap Surat Keputusan fatwa di lingkungan MUI maupun MUI Daerah diputuskan dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam keputusan ini, mempunyai kedudukan sederajat dan tidak saling membatalkan.   
  4. Jika MUI pusat telah menetapkan surat keputusan fatwa terhadap suatu permasalahan, maka MUI daerah tidak boleh menetapkan keputusan fatwa yang lain, dalam masalah yang sama, tetapi harus mengikuti dan tunduk pada keputusan MUI.
  5. ika terjadi perbedaan keputusan fatwa MUI pusat dengan keputusan MUI daerah dalam masalah yang sama kedua dewan pimpinan MUI tersebut perlu mengadakan perte9muan untuk mencari solusi dan penyelesaian yang lebih baik (Jakarta: MUI, 2003).

MUI, dalam melaksanakan proses sertifikasi halal, LPPOMMUI menggunakan prosedur baku sebagai panduan pelaksanaan, yang kemudian dituangkan dalam bentuk SOP (Standard Operation Procedure). Panduan ini dikembangkan dan terus ditingkatkan, sesuai
dengan kebutuhan maupun perkembangan ilmu dan teknologi. MUI menetapkan tahapan atau langkah prosedur dan mekanisme penetapan fatwa halal hingga terbitnya sertifikat halal.

“Sistem labelisasi yang dilakukan oleh LPPOM MUI dan BP-POM merupakan kegiatan yang pasti nya akan dipertanggungjawabkan. Berdasarkan data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), jumlah produk yang beredar di masyarakat sebanyak 194.776.

Namun, hanya setengahnya yang telah memiliki sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam masa berlaku tahun 2013–2015. Jumlah produk bersertifikat halal tersebut ada sebanyak 98.543 atau memiliki persentase sebesar 50,6 persen ( (LPPOM, 2009) Setidaknya, ada delapan jenis informasi yang bisa diketahui dari label kemasan produk pangan yaitu sertifikasi halal, nama produk, kandungan isi, waktu kedaluwarsa, kuantitas isi, identifikasi asal produk, informasi gizi, dan tanda-tanda kualitas lainnya ( “Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999).

“Informasiinformasi tersebut mesti diperhatikan dengan seksama supaya konsumen tidak salah beli. Pada setiap kemasan nama produk pada labelnya merupakan informasi utama yang memung9kinkan konsumen dapat mengidentifikasi jenis produk itu. Selain keteranganketerangan tersebut, untuk pangan olahan tertentu, pelaku usaha harus mencantumkan keterangan lain yang berhubungan dengan kesehatan manusia pada label. 

Keterangan dan/atau pernyataan tentang pangan yang dicantumkan dalam label harus benar dan tidak menyesatkan, baik mengenai tulisan, gambar, atau bentuk apapun lainnya. 
Dalam buku (Mashudi, 2015) Secara umum, setiap peraturan hukum yang baik pasti memiliki landasan hukum yang kuat, baik berupa landasan hukum material maupun hukum formal.

Begitu pula dengan peraturan hukum terkait sertifikasi halal, tentu memiliki landasan hukum baik menyangkut hukum material (yakni al-quran, al-hadits dan ijtihad) maupun hukum formal (yakni landasan filosofis (philosphiegelding), landasan sosiologis (sociologische gelding), landasan politis (politic gelding) dan landasan yuridis (juridische). Perihal landasan hukum mengenai sertifikasi halal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. Landasan Hukum Material
Landasan hukum material mengenai sertifikasi produk halal adalah landasan yang bersumber dari hukum agama, yaitu meliputi al-quran, al-hadits dan ijtihad.

1. Al-quran
Ada beberapa ayat al-quran yang melandasi problem halal adalah “Qs. Al-baqarah: 29, 168, 172, dan 188, Qs. Al-maidah: 5 dan 188, Qs. Al-anam: 145, Qs. Al-Nahl: 114, Qs. Al-A`raf: 157, Qs. Abasa: 24-32, Qs. At-taubah: 109 dan Qs. Al-Mu`minun: 51. Ayat-ayat tersebut bukan saja menyatakan bahwa mengonsumsi yang halal hukumnya wajib karena merupakan perintah agama, tetapi juga menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan salah
satu bentuk perwujudan dari rasa syukur dan keimanan kepada Allah. Sebaliknya, mengonsumsi yang tidak halal dikategorikan mengikuti ajaran setan. 

2. Al-Hadits
Sabda nabi saw: “Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan diantara kedua ada hal-hal yang musytabihal (syubhat, samarsamar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat, sebenarnya ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya, dan barangsiapa yang terjatuh dalam syubhat maka ia (mudah) tergelincir dalam keharaman” (San`ani, Subul alSalam, 1933). Dalam riwayat lain, Nabi saw juga bersabda berkaitan dengan mengonsumsi halal. Hadits-hadits “diatas memberikan pemahaman bahwa mengonsumsi yang tidak halal (haram) menyebabkan segala amal ibadah yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah SWT. Berpijak dari hal itu jelaslah bahwa masalah halal dan haram bagi umat islam sangat urgen dan memiliki makna cukup besar. Sehingga wajarlah jika masalah tersebut mendapat perhatian serius dari umat islam.

3. Ijtihad 
Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar`I dari dalil-dalil syara yaitu Alquran dan as-sunnah (Khallaf, 1978). Kemampuan berfikir manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad menjadi sumber hukum islam ketiga ini disebut arra`yu atau ijtihad (Ali, 2002).

Secara metodologis, ia merupakan sumber hukum ketiga setelah al-Quran dan al-Hadits. Hukum ijtihad diperkenankan, bila dilakukan oleh para mujtahid yang memenuhi syarat. Dasar untuk membuat ijtihad, secara konvensional diatur hierarkik seperti berdasar pemaknaan atas nash, dengan analogi, mencari kemaslahatan, dan lain-lain (Muhadjir, 2001). Ijtihad yang digunakan adalah ijma` artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukumhukum dalam agama berdasarkan Al-quran dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma` adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh ummat.

B. Landasan Hukum Formal

1. Landasan Filosofis (philoshopie gelding)
Landasan filosofis adalah “dasar filsafat, atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintah) kedalam suatu rencana atau draft atau rancangan peraturan hukum negara. “Filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa berisi nilai-nilai moral dan etika dari suatu bangsa, terkandung “nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan dan nilai lainnya yang dianggap baik oleh suatu bangsa. Filsafat hidup
suatu bangsa menjadi landasan pembentukan hukum untuk mengatur kehidupannya dalam bernegara. Jadi, “kaidah hukum yang dibentuk harus mencerminkan filsafat hidup bangsa, atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa. 

2. Landasan Sosiologis
Suatu peraturan hukum mempunyai landasan sosiologis, apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar hukum (perundang-undangnya) yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka (Syarif, 1992). “Peraturan perundang-undangan yang dibuat harus sesuai
dengan kenyataan hidup masyarakat, atau hukum yang hidup (living law) dimana peratutan itu diterapkan. Hal ini bukan berarti, apa yang ada pada suatu saat pada suatu masyarakat akan menjadi nilai kehidupan selanjutnya. Produk perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname) (Manan, 1992), karena masyarakat berubah, nilai-nilai pun terus berubah (Arkinson, 1978), untuk itulah kecenderungan diakomodir dalam peraturan berorientasi masa depan.

3. Landasan Yuridis 
Landasan yuridis adalah landasan hukum (juridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid, compententie) pembuatan peraturan. Selain menentukan dasar
kewenangan pembentukannya, landasan hukum juga merupakan dasar keberadaan dari suatu jenis peraturan perundang-undangan. Landasan hukum kewenangan membentuk dan keberadaan suatu peraturan sangat diperlukan, tanpa dasar hukum tersebut, pembentukan dan keberadaan suatu peraturan menjadi tidak sah secara hukum.

4. Landasan Administratif
Penggunaan istilah landasan administrative dalam buku ini dikandung maksud untuk membedakan antara landasan yuridis (Juridische Gelding)  yang lebih fokus pada undang-undang dengan Peraturan Pemerintah yang dalam banyak hal berkaitan dengan praktik administrasi. Adapun landasan tersebut adalah sebagai berikut:

Peraturan Pemerintah RI tentang Label dan Iklan Pangan menegaskan bahwa guna menghindari segala hal yang berdampak tidak baik, maka tidak hanya masalah yang berhubungan dengan kesehatan saja yang perlu diinformasikan secara benar dan tidak menyesatkan melalui label atau iklan pangan. Tetapi perlindungannya secara batiniah perlu diberikan kepada masyarakat.

Masyarakat islam merupakan jumlah terbesar dari penduduk Indonesia yang secara khusus dan non-diskriminatif perlu dilindungi melalui pengaturan halal (UUD Pangan, 1999). Bagaimanapun juga, kepentingan agama atau kepercayaan lainnya tetap dilindungi melalui tanggungjawab pihak yang nenproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan bagi keperluan tersebut.

Demikian, pembahasan singkat mengenai Sertifikasi Halal. Maaf atas kekurangannya, semoga bermanfaat.

Posting Komentar untuk "Pengertian Sertifikasi Halal"